MKDU4221 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

| Sabtu, 11 April 2015
MODUL 1
TUHAN YANG MAHA ESA DAN KETUHANAN
Kegiatan Belajar 1: Keimanan dan Ketakwaan
Rangkuman

Iman merupakan asas yang menentukan ragam kepribadian manusia. Selama ini orang memahami bahwa iman artinya kepercayaan atau sikap batin, yaitu mempercayai adanya Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Akhir (kiamat), Takdir baik dan buruk. Pengertian tersebut jika digandengkan dengan hadis Nabi yaitu aqdun bil qalbi wa ikraarun bil lisaani wa amalun bil arkani maka pengertiannya akan lebih operasional. Jika didefinisikan bahwa iman adalah kepribadian yang mencerminkan suatu keterpaduan antara kalbu, ucapan dan perilaku menurut ketentuan Allah, yang disampaikan oleh Malaikat kepada Nabi Muhammad. Ketentuan Allah tersebut dibukukan dalam bentuk Kitab yaitu kumpulan wahyu, yang dikonkretkan dalam Al-quran guna mencapai tujuan yang hakiki yaitu bahagia dalam hidup, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Isi kitab tersebut adalah ketentuan tentang nilai-nilai kehidupan yang baik dan yang buruk berdasarkan parameter dari Allah.
Ada tiga aspek iman yaitu pengetahuan, kemauan dan kemampuan. Orang yang beriman kepada Allah adalah yang memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan untuk hidup dengan ajaran Al-quran seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah. Oleh karena itu, prasyarat untuk mencapai iman adalah memahami kandungan Al-quran. Dengan demikian strategi untuk menumbuhkembangkan keimanan kepada Allah adalah menumbuhkembangkan kegiatan, belajar dan mengajar Al-quran secara akademik. Tujuan belajar dan mengajar adalah bukan sekedar mampu membunyikan hurufnya, melainkan sampai memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Kuat lemahnya iman seseorang sangat tergantung pada penguasaannya terhadap Al-quran. Kekeliruan dan kedangkalan dalam memahami makna Al-quran merupakan faktor yang membuat dangkal atau keliru dalam beriman. Untuk itu belajar dan mengajar Al-quran harus dilakukan secara terjadwal dan berkelanjutan. Belajar Al-quran tidak hanya di waktu kecil, namun harus berkelanjutan sampai ajal tiba.
Kegiatan Belajar 2: Filsafat Ketuhanan
Rangkuman

Konsep tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut pemikiran manusia, berbeda dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa menurut ajaran Islam. Konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia baik deisme, panteisme, maupun eklektisme, tidak memberikan tempat bagi ajaran Allah dalam kehidupan, dalam arti ajaran Allah tidak fungsional. Paham panteisme meyakini Tuhan berperan, namun yang berperan adalah Zat-Nya, bukan ajaran-Nya. Sedangkan konsep ketuhanan dalam Islam justru intinya adalah konsep ketuhanan secara fungsional. Maksudnya, fokus dari konsep ketuhanan dalam Islam adalah bagaimana memerankan ajaran Allah dalam memanfaatkan ciptaan-Nya.
Segala yang ada di alam semesta ini diciptakan oleh Yang Maha Pencipta (Khalik). Manusia yang diberi akal, ketika memperhatikan gejala dan fenomena alam akan mengambil kesimpulan bahwa alam yang menakjubkan ini tentulah diciptakan oleh Yang Maha Agung. Akal yang logis juga memahami bahwa yang dicipta tidak sama dengan Pencipta.
Makhluk, kecuali ada yang nyata dapat diketahui dengan pancaindra, ada pula yang immateri dan tidak dapat dijangkau oleh indera manusia. Keyakinan akan adanya makhluk ghaib itu, akan dapat menyampaikan kepada keimanan, juga terhadap Yang Maha Ghaib, yaitu Khalik Pencipta alam semesta ini.
Daftar Pustaka
  • Alquran. (1986). Mushaf Standar Indonesia. Jakarta.
  • Chudlori Umar, Moh., dkk. (1996). Pendidikan Agama Islam untuk Fakultas Ekonomi. Jakarta.
  • Mokhtar Stirk dan Muhammad Iqbal. (t.th.). Buku Pintar Al-quran: Referensi Lengkap memahami Kitab Suci Al-quran. Jakarta: Padang Pustaka & Intimedia.
  • M.Quraish Shihab. (1992). Membumikan Al-quran. Cetakan 1. Bandung: Mizan.
  • (1996). Wawasan Al-quran. Cetakan 1. Bandung: Mizan.
  • Nainggolan, ZS. (1997). Pandangan Cendekiawan Muslim tentang Moral Pancasila, Moral Barat, dan Moral Islam. Jakarta.
  • Nasution, Harun. (1975). Falsafat Agama. Jakarta.
  • ___. (1985). Teologi Islam. Jakarta.
  • Rodinson, Maxin. (t.th.) Islam dan Kapitalisme. Bandung.
  • Tim Dosen Pendidikan Agama Islam IKIP Jakarta. (1988). Materi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta.
  • Zakiah Daradjat, dkk. (1984). Dasar-dasar Agama Islam. Jakarta.


MODUL 2
HAKIKAT, MARTABAT, DAN TANGGUNG JAWAB MANUSIA
Kegiatan Belajar 1: Hakikat Manus
Rangkuman

Zat yang bersifat lahir dan gaib itu menentukan postur manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Manusia mempunyai anggota badan, khususnya otak dan jantung yang berfungsi sebagai mekanisme biologi, yaitu seperangkat subsistem di dalam sistem tubuh manusia untuk menunjukkan keberadaannya (eksistensinya).
Susunan anggota badan manusia (fisik) sebenarnya sangat kompleks, tidak hanya terdiri dari otak dan jantung saja, yang masing-masing anggota badan satu sama lain dihubungkan melalui susunan syaraf yang sangat kompleks pula. Keadaan itu pun masih menggambarkan manusia yang kurang lengkap, karena kelengkapan manusia tidak hanya dari wujud fisiknya saja, akan tetapi juga dari kenyataan nonfisik yang justru tidak dimiliki oleh makhluk lain. Seperti ruh dan jiwa yang memerankan adanya proses berpikir, merasa, bersikap dan berserah diri serta mengabdi yang merupakan mekanisme, kejiwaan manusia sebagai makhluk Allah.
Kedua mekanisme yang terdapat pada manusia, yaitu mekanisme biologi yang berpusat pada jantung (sebagai pusat hidup) dan mekanisme kejiwaan yang berpusat pada otak (otak sebagai lembaga pikir, rasa, dan sikap sebagai pusat kehidupan).
Gambaran bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna, mungkin dapat dilihat dari kemampuannya untuk menentukan tujuan hidup. Tujuan hidup itu berdasarkan satu tata nilai yang memberikan corak pada seluruh kehidupan manusia yang terdiri dari proses mengetahui, mengalami, memikirkan, merasakan, dan membentuk sikap tertentu yang akhirnya tersusun pada suatu pola perilaku yang dapat menghasilkan karya manusia, baik yang bersifat fisik maupun bersifat nonfisik. Tinggi rendahnya derajat kemampuan, sempit luasnya cakupan tergantung pada kapasitas otak (Q.S. Al-Mu'min (40) : 35), melalui pusat susunan syaraf (terletak pada sumsum tulang belakang) sehingga memungkinkan seluruh anggota badan berfungsi dalam rangka pencapaian cita-cita. Cita-cita tersebut sering kali diistilahkan dengan akhlakul karimah atau perilaku yang baik.
Kegiatan Belajar 2: Martabat Manusia
Rangkuman

Manusia ialah makhluk yang utama dan terutama di antara semua makhluk yang ada. Keutamaan manusia dapat dilihat dengan adanya potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia, yang tidak terdapat pada makhluk lain. Dengan kelebihan itu manusia dijadikan sebagai khalifah Allah di bumi.
Kedudukan manusia sebagai khalifah Allah inilah, yang menjadikan mereka mempunyai sejumlah hak dan kewajiban. Hak di sini adalah suatu imbalan dari kewajiban-kewajiban yang telah ditunaikannya. Kewajiban dalam konteks dengan hukum Islam, berarti pekerjaan yang akan mendapat sanksi hukum apabila ditinggalkan.
Kegiatan Belajar 3: Tanggung Jawab Manusia
Rangkuman

Menurut kodratnya, manusia adalah makhluk yang paling mulia. Sesuai dengan namanya manusia adalah makhluk yang mempunyai naluri berperasaan, berkelompok, dan berpribadi. Selain itu manusia memiliki sifat pelupa atau cenderung memilih berbuat kesalahan. Dari sifat-sifatnya itu posisi manusia akan berbalik menjadi makhluk yang paling hina, bahkan lebih hina dari binatang.
Manusia diciptakan untuk mengelola dan memanfaatkan alam untuk mencapai kehidupan materi yang sejahtera dan bahagia di dunia, sekaligus dengan demikian ia dapat melaksanakan tugas beribadah kepada Pencipta untuk mencapai kebahagiaan immateri di akhirat kelak. Fungsi ganda manusia itu dikenal dalam istilah agama sebagai fungsi kekhalifahan dan kehambaan (untuk mengabdi dan beribadah).
Daftar Pustaka
  • A. B Shah. (1986). Metodologi Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  • A. Yazid dan Qasim Lho. (1977). Himpunan Hadits-Hadits Lemah dan Palsu. Bandung: Bina Ilmu.
  • Abudin Nata. (1994). Alquran dan Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • ___. (1999). Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Ali Abdul Adzim. (1989). Epistemologis dan Aksiologi Ilmu Perspektif Alquran. Bandung: Rosda.
  • Al-Quran dan Terjemahannya (Depag RI, 1986).
  • Andi Hakim Nasution. (1988). Pengantar ke Filsafat Ilmu. Jakarta: Litera Antar Nusa.
  • C. A. Qadir, (Ed.). (1989). Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Jakarta Yayasan Obor Indonesia.
  • Daniel W. Brown. (1991). Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Bandung: Mizan.
  • Dawud Al-Aththar. (1994). Ilmu Alquran. Bandung: Pustaka Hidayah.
  • Dedy Mulyana, (Ed.). (1996). Berpaling Kepada Islam. Bandung: Rosda.
  • Departemen Agama RI. (2001). Kapita Selekta Pengetahuan Agama Islam. Jakarta: Dirjen Binboga Islam.
  • E. Hasan Saleh. (2000). Studi Agama Islam di Perguruan Tinggi. Cetakan Kedua. Jakarta : ISTN.
  • Endang Saifuddin Anshari. (1983). Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran tentang Islam dan Umatnya. Bandung: Pustaka.
  • Fazlur Rahman. (1984). Islam. Bandung: Pustaka.
  • Hasan Langgulung. (1986). Manusia dan Pendidikan: Studi Analisis Psikologis dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Alhusna.
  • ___. 1986). Teori-teori Kesehatan Mental. Jakarta: Pustaka Alhusna.
  • Husein Bahreisy. (t.th.). Studi Hadits Nabi. Surabaya: Amin.
  • Iwan Kusuman Hamdan, dkk. (Eds.). (1995). Mukjizat Alquran dan As-Sunnah tentang IPTEK. Jakarta: GIP.
  • Jujun S. Suriasumanteri. (1985). Filsafat Ilmu: Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
  • ___. (1978). Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia.
  • Karen Armstrong. (2001). Muhammad Sebagai Nabi. Jakarta: Risalah Gusti.
  • M. Ali Usman, dkk. (1993). Hadits Qudsi: Firman Allah Tidak Dicantumkan dalam Alquran. Bandung: Diponegoro.
  • Moh. Syafaat. (1965). Mengapa Anda Beragama Islam. Jakarta: Wijaya.
  • Moh. Thahir Hakim. (1984). Sunah dalam Tantangan Pengingkarnya. Jakarta: Granada.
  • Muh. Al-Ghazali. (1991). Keprihatinan Seorang Juru Dakwah. Bandung: Mizan.
  • Muh. Husain Haekal. (1980). Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Muh. Sa’id Ramadlan Al-Buthy. (1992). Sirah Nabawiyah. 3 Jilid. Jakarta: Robbani Pres.
  • Muh. Zulkarnain. (t. th.). Mengapa Saya Masuk Agama Islam. Semarang: Ramadahani.
  • Muhammad Quraish Shihab. (1992). Membumikan Alquran. Bandung: Mizan.
  • ___. (1996). Wawasan Alquran. Bandung: Mizan.
  • Murtadla Mutahhari. (1984). Manusia dan Agama. Bandung: Mizan.
  • Nico Syukur. (1992). Pengalaman dan Motivasi Beragama. Jakarta: Leppenas.
  • Nurcholis Madjid. (2000). Pesan-pesan Takwa. Jakarta: Paramadina.
  • Rabithal Alam Islamy. (1979). Mengapa Kami Memilih Islam. Bandung: Almaarif.
  • Roger Graudy. (1982). Janji-janji Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
  • ___. (1986). Mencari Agama pada Abad XX. Jakarta: Bulan Bintang.
  • ___. (1987). Krisis Global Dunia Barat: Di mana Islam. Surabaya: Amarpres.
  • Rus’an. (1981). Lintasan Sejarah Islam Zaman Rasululah. Semarang: Wicaksana.
  • Shaifurrahman Al-Mubarakfury. (1997). Sirah Nabawiyah. Jakarta: Al-Kautsar.
  • Syamsudin Abdullah. (1977). Agama dan Masyarakat. Jakarta: Logos.
  • Syamsul Rijal Hamid. (1997). Buku Pintar Agama Islam. Edisi Senior. Jakarta: Penebar Salam.
  • T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy. (1977). Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
  • Thomas W. Arnold. (1981). The Preaching of Islam. Jakarta: Widjaya.
  • Zakiah Derajat, dkk. (1986). Dasar-dasar Agama Islam: Buku Dasar Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Universitas Terbuka.


MODUL 3
MASYARAKAT BERADAB, PERAN UMAT BERAGAMA, HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI
Kegiatan Belajar 1: Masyarakat Beradab dan Sejahtera
Rangkuman

Masyarakat adalah sejumlah individu yang hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu, bergaul dalam jangka waktu yang lama sehingga menimbulkan kesadaran pada diri setiap anggotanya sebagai suatu kesatuan. Asal usul pembentukan masyarakat bermula dari fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain. Dari fitrah ini kemudian mereka berinteraksi satu sama lain dalam jangka waktu yang lama sehingga menimbulkan hubungan sosial yang pada gilirannya menumbuhkan kesadaran akan kesatuan. Untuk menjaga ketertiban daripada hubungan sosial itu, maka dibuatlah sebuah peraturan.
Dalam perkembangan berikutnya,seiring dengan berjumlahnya individu yang menjadi anggota tersebut dan perkembangan kebudayaan, masyarakat berkembang menjadi sesuatu yang kompleks. Maka muncullah lembaga sosial, kelompok sosial, kaidah-kaidah sosial sebagai struktur masyarakat dan proses sosial dan perubahan sosial sebagai dinamika masyarakat. Atas dasar itu, para ahli sosiologi menjelaskan masyarakat dari dua sudut: struktur dan dinamika.
Masyarakat beradab dan sejahtera dapat dikonseptualisasikan sebagai civil society atau masyarakat madani. Meskipun memeliki makna dan sejarah sendiri, tetapi keduanya, civil society dan masyarakat madani merujuk pada semangat yang sama sebagai sebuah masyarakat yang adil, terbuka, demokratis, sejahtera, dengan kesadaran ketuhanan yang tinggi yang diimplementasikan dalam kehidupan sosial.
Prinsip masyarakat beradab dan sejahtera (masyarakat madani) adalah keadilan sosial, egalitarianisme, pluralisme, supremasi hukum, dan pengawasan sosial. Keadilan sosial adalah tindakan adil terhadap setiap orang dan membebaskan segala penindasan. Egalitarianisme adalah kesamaan tanpa diskriminasi baik etnis, agama, suku, dll. Pluralisme adalah sikap menghormati kemajemukan dengan menerimanya secara tulus sebagai sebuah anugerah dan kebajikan. Supremasi hukum adalah menempatkan hukum di atas segalanya dan menetapkannya tanpa memandang “atas” dan “bawah”.
Kegiatan Belajar 2: Peran Umat Beragama dalam Mewujudkan Masyarakat Beradab dan Sejahtera
Rangkuman

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural di mana bangsa ini terdiri dari pelbagai macam suku, bahasa, etnis, agama, dll. meskipun plural, bangsa ini terikat oleh kesatuan kebangsaan akibat pengalaman yang sama: penjajahan yang pahit dan getir. Kesatuan kebangsaan itu dideklarasikan melalui Sumpah Pemuda 1928 yang menyatakan ikrar: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. Kesatuan kebangsaan momentum historisnya ada pada Pancasila ketika ia dijadikan sebagai falsafah dan ideologi negara. Jika dibandingkan, ia sama kedudukannya dengan Piagam Madinah. Keduanya, Pancasila dan Piagam Madinah merupakan platform bersama semua kelompok yang ada untuk mewujudkan cita-cita bersama, yakni masyarakat madani.
Salah satu pluralitas bangsa Indonesia adalah agama. Karena itu peran umat beragama dalam mewujudkan masyarakat madani sangat penting. Peran itu dapat dilakukan, antara lain, melalui dialog untuk mengikis kecurigaan dan menumbuhkan saling pengertian, melakukan studi-studi agama, menumbuhkan kesadaran pluralisme, dan menumbuhkan kesadaran untuk bersama-sama mewujudkan masyarakat madani.
Kegiatan Belajar 3: Hak Asasi Manusia dan Demokrasi
Rangkuman

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah wewenang manusia yang bersifat dasar sebagai manusia untuk mengerjakan, meninggalkan, memiliki, mempergunakan atau menuntut sesuatu baik yang bersifat materi maupun immateri. Secara historis, pandangan terhadap kemanusiaan di Barat bermula dari para pemikir Yunani Kuno yang menggagas humanisme. Pandangan humanisme, kemudian dipertegas kembali pada zaman Renaissance. Dari situ kemudian muncul pelbagai kesepakatan nasional maupun internasional mengenai penghormatan hak-hak asasi manusia. Puncaknya adalah ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Declaration of Human Right, disusul oleh ketentuan-ketentuan lain untuk melengkapi naskah tersebut. Secara garis besar, hak asasi manusia berisi hak-hak dasar manusia yang harus dilindungi yang meliputi hak hidup, hak kebebasan, hak persamaan, hak mendapatkan keadilan, dll.
Jauh sebelum Barat mengonseptualisasikan hak asasi manusia, terutama, sejak masa Renaissance, Islam yang dibawa oleh Rasulullah telah mendasarkan hak asasi manusia dalam kitab sucinya. Beberapa ayat suci al-Qur’an banyak mengonfirmasi mengenai hak-hak tersebut: hak kebebasan, hak mendapat keadilan, hak kebebasan, hak mendapatkan keamanan, dll. Puncak komitmen terhadap hak asasi manusia dinyatakan dalam peristiwa haji Wada di mana Rasulullah berpesan mengenai hak hidup, hak perlindungan harta, dan hak kehormatan.
Sama halnya dengan hak asasi manusia, demokrasi yang berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, secara historis telah ada sejak zaman Yunani Kuno sebagai respons terhadap pemerintahan otoriter yang tidak menutup partisipasi rakyat dalam setiap keputusan-keputusan publik. Melalui sejarah yang panjang, sekarang demokrasi dipandang sebagai sistem pemerintahan terbaik yang harus dianut oleh semua negara untuk kebaikan rakyat yang direalisasikan melalui hak asasi manusia. Hak asasi manusia hanya bisa diwujudkan dalam suatu sistem yang demokrasi di mana semua warga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara.
Sama halnya dengan hak asasi manusia, prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan, persamaan, dll. terdapat juga dalam Islam. Beberapa ayat al-Qur’an mengonfirmasi prinsip-prinsip tersebut. Selain itu juga, praktik Rasulullah dalam memimpin Madinah menunjukkan sikapnya yang demokratis. Faktanya adalah kesepakatan Piagam Madinah yang lahir dari ruang kebebasan dan persamaan serta penghormatan hak-hak asasi manusia.
Daftar Pustaka
  • Abuddin Nata (ed,). (2002). Problematika Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Grasindo.
  • Bakhtiar Efendy. (1998). Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
  • Boisard, Marcel A. (1980). Humanisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
  • David Berry. (1981). Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi. Jakarta: Rajawali.
  • Maurice Duverger. (1982). Sosiologi Politik, Alih Bahasa Daniel Dakidae. Jakarta: Rajawali.
  • Muhammad Amin al-Misri. (1987). Pedoman Pendidikan Masyarakat Islam Modern. Alih Bahasa Bahrum Bunyamin. Bandung: Husaini.
  • Murthadla Mutahhari. (1995). Masyarakat dan Sejarah: Kritik Islam atas Marxisme dan Teori Lainnya. Bandung: Mizan.
  • Nurcholish Madjid. (1999). Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat. Jakarta: Paramadina.
  • Nurcholish Madjid. (1999). Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina.
  • Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi. (1964). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Universitas Indonesia, Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Jakarta.
  • Soleman B. Taneko. (1993). Struktur dan Proses Sosial Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. Cetakan ke-2. Jakarta: Raja Grafindo.
  • Sufyanto. (2001). Masyarakat Tamaddun Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholish Madjid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Endang Saefudin Anshari. (1976). The Jakarta Charter of June 1945: A History of The Gentlemen Agreement between the Islamic and the Secular Nationalist in Modern Indonesia.” Tesis MA, Mc Gill University.
  • Mukti Ali. (1974). Dialog Antar Agama. Yogyakarta: Yayasan Nida.
  • Faisal Ismail. (2002). Pijar-pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur. Yogyakarta: LESFI Yogya.
  • ___. (1992). Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina.
  • Shalahudin Hamid. (2000). Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam. Jakarta: Amissco.
  • Abul Ala al-Maududi. (1985). Hak Asasi Manusia dalam Islam. Bandung: Pustaka.
  • Ahmed S. Akbar. (1997). Membedah Islam. Bandung: Pustaka.
  • Muhammad Tahir Azhary. (1992). Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Bulan Bintang.
  • Muhammad Imarah. (1998). Perang Terminologi Islam versus Barat. Alih bahasa Mushtalah Maufur. Jakarta: Rabbani Press.
  • Masykuri Abdillah. (1999). Demokrasi di Persimpangan Makna Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
  • Ahmad Syafii Maarif. (1987). Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstitusi. Jakarta: LP3ES.


MODUL 4
HUKUM
Kegiatan Belajar 1: Menumbuhkan Kesadaran untuk Taat terhadap Hukum Allah SWT
Rangkuman

Para ulama mendefinisikan hukum syari’at/hukum Islam adalah seperangkat aturan yang berasal dari pembuat syari’at (Allah SWT) yang berhubungan dengan perbuatan manusia, yang menuntut agar dilakukan suatu perintah atau ditinggalkan suatu larangan atau yang memberikan pilihan antara mengerjakan atau meninggalkan.
Secara garis besar hukum Islam terbagi menjadi lima macam: Pertama, Wajib; yaitu suatu perbuatan apabila dikerjakan oleh seseorang, maka orang yang mengerjakannya akan mendapat pahala dan apabila perbuatan itu ditinggalkan maka akan mendapat siksa. Kedua, Sunnah (mandub), yaitu perbuatan apabila dikerjakan maka orang yang mengerjakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan maka orang yang meninggalkan tersebut tidak mendapat siksa.
Hukum yang ketiga adalah haram, yaitu segala perbuatan yang apabila perbuatan itu ditinggalkan akan mendapat pahala sementara apabila dikerjakan maka orang tersebut akan mendapat siksa. Yang keempat adalah makruh, yaitu satu perbuatan disebut makruh apabila perbuatan tersebut ditinggalkan maka orang yang meninggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan maka orang tersebut tidak mendapat siksa. Yang kelima adalah mubah yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan orang yang mengerjakan tidak mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.
Sementara prinsip-prinsip hukum dalam Islam oleh para ulama dijelaskan sebanyak tujuh prinsip. Ketujuh prinsip tersebut adalah Prinsip Tauhid, Prinsip Keadilan, Prinsip Amar Makruf Nahi Munkar, Prinsip al-Hurriyah (Kebebasan dan Kemerdekaan), Prinsip Musawah (Persamaan/Egaliter), Prinsip ta’awun (Tolong-menolong), Prinsip Tasamuh (Toleransi).
Kegiatan Belajar 2: Fungsi Profetik Agama (Kerasulan Nabi Muhammad SAW) dalam Hukum Islam
Rangkuman

Petunjuk Allah SWT dalam al-Qur’an hanya dapat dilaksanakan dengan syarat mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Inilah yang kemudian disebut dengan sunnah Nabi SAW atau hadits. Secara sederhana diartikan dengan segala perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi SAW.
Urgensi sunnah Nabi SAW dalam hukum Islam ditegaskan dengan beberapa argumen, di antaranya adalah:
  1. Iman. Salah satu konsekuensi beriman kepada Allah SWT adalah menerima segala sesuatu yang bersumber dari para utusan-Nya (khususnya Nabi Muhammad SAW).
  2. Al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan kewajiban taat kepada Rasulullah SAW.
  3. Di antara argumen tentang posisi sunnah sebagai sumber hukum dalam Islam dijelaskan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW dalam beberapa haditsnya.
  4. Di antara argumen tentang posisi sunnah sebagai sumber hukum Islam adalah berdasarkan konsensus umat Islam.
  5. Al-Qur’an yang bersisi petunjuk dari Allah secara umum masih bersifat global, sehingga perlu ada penjelasan. Sekiranya tidak ada Hadits Nabi SAW maka ajaran al-Qur’an tidak dapat dilaksanakan secara baik.
Posisi sunnah Nabi SAW terhadap al-Qur’an sangat penting di antaranya adalah untuk menguatkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, menjelaskan apa yang masih global dalam al-Qur’an, bahkan menetapkan hukum secara mandiri yang tidak terkait langsung dengan al-Qur’an.
Daftar Pustaka
  • Abd al-Bâqî, Muhammad Fu’âd. (t.th). Mu’jam li Alfâzh al-Qur’ân al-Karim. (t.t): Dâr al-Sya’b.
  • Abduh, Muhammad. (t.th). Tafsîr Juz ‘Amma. (t.t): Dâr wa Mathâbi’.
  • Ali, Abdullah Yusuf. (1384/1978). The Holy Qur’an, Text, Translation, and Comentary. Vol. I and II. Mecca: The Muslim World League.
  • Al-Qur’ân al-Karîm.
  • Ashfahani, Abû al-Qasim Abu al-Husain bin Muhammad al Raghib, al-. (1961/1381). Al-Mufradât fî Gharib al-Qur’ân. Mishr: Mushthafâ al-Bab al-Halabi.
  • Al-Tirmizi, Abû ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surat. (1400/1980). Al-Jami’ al-Shahih. Beirut: Dâr al-Fikr.
  • Al-Wâhidi, Abû al-Hasan bin Ahmad. (1386/1968). Asbab al-Nuzul. Mishr: Mushthafâ al-Bab al-Halabi.
  • Bukhâri, Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’il bin Ibrâhim bin al-Mughîrat bin Bardizbat al-. (t.th). Shahih al-Bukhâri. (t.t): Dâr wa Mathabi’ al-Sya’b.
  • Ghazali, Abû Hamid Muhammad bin Muhammad al-. (t.th). Ihyâ’ Ulum al-Din. Al-Qahirat: Maktabah al-Masyad al-Husaini.
  • Hamka. (1980). Tafsir al-Azhar. Surabaya: Yayasan Latimojong.
  • Ibn Hanbal, Ahmad. (t.th). Musnad al-Imam bin Hanbal. Beirut: Al-Maktab al-Islami.
  • Ibn Kasîr, Abu al-Fida’ Ismâ’îl. (t.th). Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhim. Singapura: Al-Haramain.
  • Juhaya, S Praja. (1995). Filsafat Hukum Islam. Bandung: Universitas Islam Bandung.
  • Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an Departemen Agama RI. (2004). Al-Qur’ân dan Terjemahnya. Jakarta.
  • Mahalli, Jalal-al-Din Muhammad bin Ahmad al-, dan Jalâl al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abî Bakr al-Suyuthi. (t.th). Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm. Jakarta: Jaya Murni.
  • Marâghi, Ahmad Musthafâ al-. (1974/1394). Tafsir al-Marâghi. (t.t): Dâr al-Fikr.
  • Shihab, H.M. Quraish. (1995). Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan.
  • ___. (1996). Wawasan al-Qur’ân. Bandung: Mizan.
  • ___. (1998). Tafsîr al-Qur’ân al-Karim. Bandung: Pustaka Hidayat.
  • ___. (2004). Tafsir al-Mishbah vol. III. Jakarta: Lentera Hati.


MODUL 5
AGAMA SEBAGAI SUMBER MORAL DAN AKHLAK MULIA DALAM KEHIDUPAN
Kegiatan Belajar 1: Agama sebagai Sumber Moral
Rangkuman

Agama dalam bahasa Indonesia, religion dalam bahasa Inggris, dan di dalam bahasa Arab merupakan sistem kepercayaan yang meliputi tata cara peribadatan hubungan manusia dengan Sang Mutlak, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam lainnya yang sesuai dengan kepercayaan tersebut.
Dalam studi agama, para ahli agama mengklasifikasikan agama ke dalam pelbagai kategori. Menurut al-Maqdoosi agama diklasifikasikan menjadi 3 kategori: 1) agama wahyu dan non-wahyu, 2) agama misionaris dan non-misionaris, dan 3) agama lokal dan universal.
Berdasarkan klasifikasi manapun diyakini bahwa agama memiliki peranan yang signifikan bagi kehidupan manusia karena di dalamnya terdapat seperangkat nilai yang menjadi pedoman dan pegangan manusia. Salah satunya adalah dalam hal moral.
Moral adalah sesuatu yang berkenaan dengan baik dan buruk. Tak jauh berbeda dengan moral hanya lebih spesifik adalah budi pekerti. Akhlak adalah perilaku yang dilakukan tanpa banyak pertimbangan tentang baik dan buruk. Adapun etika atau ilmu akhlak kajian sistematis tentang baik dan buruk. Bisa juga dikatakan bahwa etika adalah ilmu tentang moral. Hanya saja perbedaan antara etika dan ilmu akhlak (etika Islam) bahwa yang pertama hanya mendasarkan pada akal, sedangkan yang disebut terakhir mendasarkan pada wahyu, akal hanya membantu terutama dalam hal perumusan.
Di tengah krisis moral manusia modern (seperti dislokasi, disorientasi) akibat menjadikan akal sebagai satu-satunya sumber moral, agama bisa berperan lebih aktif dalam menyelamatkan manusia modern dari krisis tersebut. Agama dengan seperangkat moralnya yang absolut bisa memberikan pedoman yang jelas dan tujuan yang luhur untuk membimbing manusia ke arah kehidupan yang lebih baik.
Kegiatan Belajar 2: Akhlak Mulia dalam Kehidupan
Rangkuman

Akhlak dalam praktiknya ada yang mulia disebut akhlak mahmudah dan ada akhlak yang tercela yang disebut akhlak madzmumah. Akhlak mulia adalah akhlak yang sesuai dengan ketentuan-ketentuanan yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya sedangkan akhlak tercela ialah yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah dan rasul-Nya. Kemudian dari pada itu, kedua kategori akhlak tersebut ada yang bersifat batin dan ada yang bersifat lahir. Akhlak batin melahirkan akhlak lahir.
Menurut al-Ghazali sendi akhlak mulia ada empat: hikmah, amarah, nafsu, keseimbangan di antara ketiganya. Keempat sendi tersebut melahirkan akhlak-akhlak berupa: jujur, suka memberi kepada sesama, tawadlu, tabah, tinggi cita-cita, pemaaf, kasih sayang terhadap sesama, menghormati orang lain, qana’ah, sabar, malu, pemurah, berani membela kebenaran, menjaga diri dari hal-hal yang haram. Sedangkan empat sendi akhlak batin yang tercela adalah keji, bodoh, rakus, dan aniaya. Empat sendi akhlak tercela ini melahirkan sifat-sifat berupa: pemarah, boros, peminta, pesimis, statis, putus asa.
Akhlak mulia dalam kehidupan sehari diwujudkan baik dalam hubungannya dengan Allah – akhlak terhadap Allah, antara lain: tauhid, syukur, tawakal, mahabbah; hubungannya dengan diri sendiri – akhlak terhadap diri sendiri, antara lain: kreatif dan dinamis, sabar, iffah, jujur, tawadlu; dengan orang tua atau keluarga – akhlak terhadap orang tua, antara lain: berbakti, mendoakannya, dll.; hubungannya dengan sesama – akhlak terhadap sesama atau masyarakat, antara lain: ukhuwah, dermawan, pemaaf, tasamuh; dan hubungannya dengan alam – akhlak terhadap alam, antara lain: merenungkan, memanfaatkan.
Daftar Pustaka
  • Abu Bakar Muhammad. (Tanpa Tahun). Membangun Manusia Seutuhnya Menurut Al-Qur’an. Surabaya: Al-Ikhlas.
  • AH. Hasanuddin. (Tanpa Tahun). Cakrawala Kuliah Agama. Surabaya: Al-Ikhlas.
  • Ahmad Amin. (1983). Al-Akhlak, Etika (Ilmu Akhlak). alih bahasa KH. Farid Maruf. Jakarta: Bulan Bintang.
  • Abu A’la al-Maududi. (1971). Moralitas Islam. Jakarta: Publicita.
  • Endang Saefudin Anshari. (1980). Kuliah Al-Islam. Bandung: Pustaka salman ITB.
  • ___. (1980). Agama dan Kebudayaan. Surabaya: Bina Ilmu.
  • ___. (1980). Agama, Filsafat dan Kepercayaan. Surabaya: Bina Ilmu.
  • Fazlur Rahman. (1979). Islam. Chicago: The University of Chicahgo Press.
  • ___. (1980). Major Themes of The Qur’an. Chicago: Bibliotheca Islamica.
  • ___. (1984). Islam and Modernty:Tranformation of an Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicahgo Press.
  • Franz Magnis Suseno. (1996). Etika Sosial. Jakarta: Gramedia.
  • Faisal Ismail. (2002). Pijar-pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur. Yogyakarta: LESFI Yogya.
  • Hamzah Yaqub. (1983). Etika Islam. Bandung: Diponegoro.
  • Imam Al-Ghazali. (1971). Ihya Ulmuddin. Juz VIII. Medan: Pustaka Indonesia.
  • ___. (1994). Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Voeve


MODUL 6
ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN SENI
Kegiatan Belajar 1: Iman, Ipteks, dan Amal sebagai Kesatuan
Rangkuman

Iman menurut arti bahasa adalah membenarkan dalam hati dengan mengandung ilmu bagi orang yang membenarkan itu. Sedangkan pengertian iman menurut syari’at adalah membenarkan dan mengetahui adanya Allah dan sifat-sifat-Nya disertai melaksanakan segala yang diwajibkan dan disunahkan serta menjauhi segala larangan.
Para sarjana muslim berpandangan bahwa yang disebut ilmu itu tidak hanya terbatas pada pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science) saja, melainkan ilmu oleh Allah dirumuskan dalam lauhil mahfudz yang disampaikan kepada kita melalui Alquran dan As-Sunnah. Ilmu Allah itu melingkupi ilmu manusia tentang alam semesta dan manusia sendiri. Jadi bila diikuti jalan pikiran ini, maka dapatlah kita pahami, bahwa Alquran itu merupakan sumber pengetahuan dan ilmu pengetahuan manusia (knowledge and science).
Seandainya penggunaan satu hasil teknologi telah melalaikan seseorang dari zikir dan tafakur serta mengantarkannya kepada keruntuhan nilai-nilai kemanusiaan maka ketika itu bukan hasil teknologinya yang mesti ditolak, melainkan kita harus memperingatkan dan mengarahkan manusia yang menggunakan teknologi itu. Jika hasil teknologi sejak semula diduga dapat mengalihkan manusia dari jati diri dan tujuan penciptaan sejak dini pula kehadirannya ditolak oleh islam. Karena itu menjadi suatu persoalan besar bagi martabat manusia mengenai cara memadukan kemampuan mekanik demi penciptaan teknologi dengan pemeliharaan nilai-nilai fitrahnya.
Kesenian islam tidak harus berbicara tentang islam. Ia tidak harus berupa nasihat langsung, atau anjuran berbuat kebajikan,bukan juga penampilan abstrak tentang akidah. Seni yang islami adalah seni yang dapat menggambarkan wujud ini dengan bahasa yang indah serta sesuai dengan cetusan fitrah. Seni islam adalah ekspresi tentang keindahan wujud dari sisi pandangan islam tentang alam, hidup, dan manusia yang mengantar menuju pertemuan sempurna antara kebenaran dan keindahan (Manhaj Al-Tarbiyah Al-islamiyah, 119).
Ada 4 hal pandangan islam dalam etos kerja yaitu: Niat (komitmen) sebagai dasar nilai kerja, Konsep ihsan dalam bekerja, Bekerja sebagai bentuk keberadaan manusia, dan Orang mukmin yang kuat lebih disukai.
Kegiatan Belajar 2: Kewajiban Menuntut dan Mengamalkan Ilmu
Rangkuman

Pengertian yang kita petik dari ayat ini bahwasanya menuntut ilmu pengetahuan adalah suatu perintah (amar) sehingga dapat dikatakan suatu kewajiban. Harus kita sadari bahwa agama adalah merupakan pedoman bagi kebahagiaan dunia akhirat, sehingga ilmu yang tersimpul dalam agama tidak semata ilmu yang menjurus kepada urusan ukhrawi, tetapi juga ilmu yang mengarah kepada duniawi.
Manusia dituntut untuk menuntut ilmu, dan hukumnya wajib. Jika tidak menuntut ilmu berdosa. Selain hukum tersebut menuntut ilmu bermanfaat untuk mencapai kecerdasan atau disebut ulama (orang yang memiliki ilmu). Namun di balik itu, orang yang memiliki ilmu (ilmuwan) akan berdosa jika ilmunya tidak diamalkan. Dalam Alquran terdapat 620 kata amal.
Dalam kaitannya dengan orang yang beriman harus didasarkan pada pengetahuan (al-ilm) dan direalisasikan dalam karya nyata yang bermanfaat bagi kesejahteraan dunia dan akhirat, tentunya amal yang dibenarkan oleh ajaran agama (amal saleh).
Kegiatan Belajar 3: Tanggung Jawab Ilmuwan dan Seniman
Rangkuman

Tanggung jawab adalah sebagai perbuatan (hal dan sebagainya) bertanggung jawab atau sesuatu yang dipertanggungjawabkan. Istilah tanggung jawab dalam bahasa Inggris disebut responsibility atau dikenal dengan istilah populer accountability, dalam bahasa agama disebut hisab (perhitungan).
Penjelasan Alqur-an yang berkaitan dengan tuntutan tanggung jawab yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan bahwa semua anggota badan yang meliputi indra pendengaran, penglihatan dan hati harus dipertanggungjawabkan. Seni adalah keindahan yang merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia didorong oleh kecenderungan seniman kepada yang indah, apa pun jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan naluri manusia atau fitrah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Tanggung jawab ilmuwan dan seniman meliputi: (1) nilai ibadah, (2) berdasarkan kebenaran ilmiah, (3) ilmu amaliah, dan (4) menyebar-luaskan ilmunya.
Daftar Pustaka
  • Alquran dan Terjemahannya. (1986). Jakarta: Depag RI.
  • ___. (1999). Agama, Etos Kerja, dan Pengembangan Kualitas Sumber Daya Manusia. Bapindo, DKI Jakarta.
  • Chatibul Umam, (Ed.). (1988). Tipologi Manusia Pembangunan dalam Alquran. Jakarta: PTIQ.
  • E. Hasan Saleh. (2000). Studi Islam di Perguruan Tinggi: Pembinaan IMTAQ dan Pengembangan Wawasan. Cetakan Kedua. Jakarta : ISTN.
  • Endang Saifuddin Anshari. (1983). Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran tentang Islam dan Umatnya. Bandung: Pustaka.
  • Fachrudin HS. (1992). Ensiklopedi Alquran, 2 jilid. Jakarta: Renika Cipta.
  • Harun Yahya. (2001). Bagaimana Muslim Berpikir? Jakarta: Rabbani Pres.
  • Harry Hamersma. (1990). Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Cetakan Keempat. Jakarta: Gramedia.
  • Maurice Bucaille. (1986). Asal-Usul Manusia Menurut Bibel, Alquran, dan Sains. Cetakan Pertama. Bandung: Mizan.
  • Majid Ali Khan. (1987). Asal-Usul dan Evolusi Kehidupan: Pandangan Alquran. Cetakan Pertama. Yogyakarta: PLP2M.
  • M. Quraish Shihab. (1999). Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan & Malaikat dalam Alquran dan Sunah. Jakarta: Lentera Hati.
  • ___. (1992). Membumikan Alquran. Cetakan Pertama. Bandung: Mizan.
  • Muhammad Isa Daud. (1995). Dialog dengan Jin Muslim: Pengalaman Spiritual. Cetakan Pertama. Bandung: Pustaka Hidayah.
  • M. Ali Usman, dkk. (1993). Hadits Qudsi: Firman Allah yang Tidak Dicantumkan dalam Alquran. Cetakan Kesepuluh. Bandung: Diponegoro.
  • Muchsin Qara’ati. (1991). Tauhid: Pandangan Dunia Alam Semesta. Jakarta: Firdaus.
  • Sindhunata. (1982). Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta: Gremedia.
  • Syamsul Rijal Hamid. (1997). Buku Pintar Agama Islam. Jakarta: Penebar Salam.


MODUL 7
BUDAYA AKADEMIK DAN BUDAYA KERJA (ETOS) DALAM ISLAM
Kegiatan Belajar 1: Memahami Makna Budaya Akademik dalam Islam
Rangkuman

Budaya akademik dalam pandangan Islam adalah suatu tradisi atau kebiasaan yang berkembang dalam dunia Islam menyangkut persoalan keilmuan. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana adalah tradisi ilmiah yang dikembangkan Islam. Di antara poin-poin pentingnya adalah pertama, tentang penghargaan Al-quran terhadap orang-orang yang berilmu, di antaranya adalah:
  1. Wahyu Al-quran yang turun pada masa awal mendorong manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
  2. Tugas Manusia sebagai khalifah Allah di Bumi akan sukses kalau memiliki ilmu pengetahuan.
  3. Muslim yang baik tidak pernah berhenti untuk menambah ilmu.
  4. Orang yang berilmu akan dimuliakan oleh Allah SWT.
Di samping memberikan apresiasi terhadap orang yang berilmu poin penting lain yang dijelaskan Al-quran adalah bahwa:
  1. Iman seorang muslim tidak akan kokoh kalau tidak ditopang dengan ilmu, demikian juga dengan amal shalih.
  2. Tugas kekhalifahan manusia tidak akan dapat sukses kalau tidak dilandasi dengan ilmu.
  3. Karakter seorang muslim yang berbudaya akademik adalah; orang yang selalu mengingat Allah yang disertai dengan ikhtiar untuk selalu menggunakan akalnya untuk memikirkan ciptaan Allah SWT. Serta selalu berusaha menambah ilmu dengan membuka diri terhadap setiap informasi yang baik dan kemudian memilih yang terbaik untuk dijadikan pegangan dan diikutinya.
Kegiatan Belajar 2: Etos Kerja, Sikap Terbuka, dan Keadilan dalam Islam
Rangkuman

Budaya akademik akan dapat terwujud dengan syarat sikap-sikap positif juga dimiliki. Di antara sikap positif yang harus dimiliki adalah etos kerja yang tinggi, sikap terbuka dan berlaku adil. Arti penting dari ketiga sikap tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
Untuk dapat meningkatkan etos kerja seorang muslim harus terlebih dahulu memahami tugasnya sebagai manusia yaitu sebagai khalifah Allah SWT di muka dan juga sebagai hamba yang berkewajiban untuk beribadah kepada Allah SWT. Beberapa petunjuk Al-quran agar dapat meningkatkan etos kerja antara lain;
  1. Mengatur waktu dengan sebaik-baiknya.
  2. Bekerja harus sesuai dengan bidangnya dan ini harus diberi catatan bahwa etos kerja yang tinggi tidak boleh menjadikan orang tersebut lupa kepada Allah SWT.
Sikap positif selanjutnya adalah sikap terbuka atau jujur; Seseorang tidak mungkin akan dapat meraih keberhasilan dengan cara mempunyai etos kerja yang tinggi kalau tidak memiliki sikap terbuka dan jujur. Karena orang yang tidak terbuka maka akan cenderung menutup diri sehingga tidak dapat bekerja sama dengan yang lain. Apalagi kalau tidak jujur maka energinya akan tersita untuk menutupi ketidakjujuran yang dilakukan. Maka Al-quran dan Hadis memberi apresiasi yang tinggi terhadap orang yang terbuka dan jujur.
Buah dari keterbukaan seseorang maka akan melahirkan sikap adil. Makna adil yang diperkenalkan Al-quran bukan hanya dalam aspek hukum melainkan dalam spektrum yang luas. Dari segi kepada siapa sikap adil itu harus ditujukan Al-quran memberi petunjuk bahwa sikap adil di samping kepada Allah SWT dan orang lain atau sesama makhluk juga kepada diri sendiri.
Daftar Pustaka
  • Al-quran al-Karim.
  • 'Abd al-Bagi, Muhammad Fu'ad. (t.th.) Mu’jam li Alfazh Al-quran al-Karim. (t.t.): Dar al-Sya'b.
  • Ashfahani, Abu al-Qasim Abu al-Husain bin Muhammad at Raghib, al-. (1961/1381). Al-Mufradat fi Gharib Al-quran. Mishr: Mushthafa al-Bab al-Halabi.
  • Bint Syathi', 'Aisyah 'Abd al-Rahman. (1978). Al-quran wa qadhaya al-Insan. Beirut: Din al'Ilm li al-Malayin.
  • Bukhari, Abu `Abdullab Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al-Mughirat bin Bardizbat al. (t.th.) Shahih al-Bukhari. (t.t): Dar wa Mathabi' al-Sya'b.
  • Ghazali, Abu Humid Muhammad bin Muhammad al-. (t.th.). Ihya' 'Ulum al-Din. Al-Qahirat: Maktabah al-Masyad al-Husaini.
  • Hamka. (1980). Tafsir Al-Azhar. Surabaya: Yayasan Latimojong.
  • Ibn Hanbal, Ahmad. (t.th.). Musnad al-Imam bin Hanbal. Barut: AI-Maktab al-Islami.
  • Ibn Kasir, Abu al-Fida' Isma’il. (t.th.) Tafsir Al-quran al-'Azhim. Singapura: Al-Haramain.
  • Ibis Majah, Abu `Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini. (t.th.). Sunan Ibn Majah. Bairut: Dar al-Fikr.
  • Jazuli, Ahzami Sami'un. (1418 H). Al-Hayat fi-Al-quran. Riyadh: Dar Thawiq li al-Nasyr wa atTauzi'.
  • Mahalli, Jalal-al-Din Muhammad bin Ahmad al-, dan Jalal al-Din 'Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi. (t.th.). Tafsir Al-quran al-'Azhim. Jakarta: Jaya Mumi.
  • Maraghi, Ahmad Musthafa al-. (1974/1394). Tafsir al-Maraghi. (t.t.): Dar al-Fikr.
  • Munawwir, Abmad Warson. (1984). Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir.
  • Muslim, Imam. (t.th.). Shahih Muslim. Al-Qahirat: Al-Masyad al-Husain.
  • Nasution, Harun. (1978). Filsafat dan Misticisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
  • ___. (1978). Islam: Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.
  • ___. dan Azyumardi Azra. (ed.). (1985). Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  • Nawawi, Al-Imam al-. (t.th.). Shahih Muslim bi al-Syarh al-Nawawi. Mishr: A1-Mathba'at alMishriyat.
  • Quthb, Sayyid. (1386/1967). Fi Zhilal Al-quran. Bairut: Dar al-lhya' al-Turas al-'Arabi.
  • Raharjo, M. Dawam. (1999). Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES.
  • Ridha, Muhammad Rasyid. (1379/1960). Tafsir Al-quran al-Hakim (Tafsir al-Manar). Mishr: Makatabat al-Qahirat.
  • Salim, Abd. Muin. (1994). Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-quran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Shihab, H.M. Quraish. (1995). Membumikan Al-quran. Bandung: Mizan.
  • ___. (1996). Wawasan Al-quran. Bandung: Mizan.
  • ___. (1998). Tafsir Al-quran al-Karim. Bandung: Pustaka Hidayat.
  • ___. (2005). Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.
  • Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'as al-Azadi al-. (t.th.). Sunan Abi Dawud. Bairut: Dar-al-Fikr.
  • Suyuthi, 'Abd al-Rahman bin Jalal al-Din al-. (1403/1983). Al-Durr al-Mansur fl Tafsir al-Ma'sur. Bairut: Dar al-Fikr.
  • (t.th.). Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul. A1-Riyadh: Maktabat al-Riyadh.
  • ___. (1348/1930). Sunan al-Nasai. Bairut: Dar al-Fikr.
  • Al-Tirmizi, Abu 'Isa Muhammad bin `Isa bin Surat. (1400/1980). Al-Jami' al-Shahih. Bairut: Dar alFikr.
  • Al-Wahidi, Abu al-Hasan bin Ahmad. (1386/1968). Asbab al-Nuzul. Mishr: Mushthafa al-Bab alHalabi.


MODUL 8
POLITIK
Kegiatan Belajar 1: Kontribusi Agama dalam Kehidupan Politik
Rangkuman

Kontribusi yang diberikan oleh agama khususnya Islam dalam kehidupan politik cukup banyak. Dalam modul ini khususnya pada bagian Kegiatan Belajar 1 seperti telah dijelaskan di atas mencoba memberi gambaran tentang hal tersebut hanya dari dua sisi saja, itu pun keduanya bersifat normatif. Yaitu tentang prinsip-prinsip kekuasaan politik yang diajarkan oleh Islam dan kriteria pemegang kekuasaan politik yang diajarkan oleh Islam.
Pada bagian pertama, Islam secara lebih khusus Al-quran mengajarkan bahwa kehidupan politik harus dilandasi dengan empat hal yang pokok yaitu:
  1. Sebagai bagian untuk melaksanakan amanat.
  2. Sebagai bagian untuk menegakkan hukum dengan adil.
  3. Tetap dalam koridor taat kepada Allah, Rasu-Nya, dan ulil amri.
  4. Selalu berusaha kembali kepada Al-quran dan Sunnah Nabi SAW.
Pada bagian yang kedua, Islam memberi kontribusi bagaimana seharusnya memilih dan mengangkat seorang yang akan diberi amanah untuk memegang kekuasaan politik. Yaitu orang tersebut haruslah:
  1. Seorang yang benar dalam pikiran, ucapan, dan tindakannya serta jujur.
  2. Seorang yang dapat dipercaya.
  3. Seorang memiliki keterampilan dalam komunikasi.
  4. Seorang yang cerdas.
  5. Yang paling penting Anda seorang yang dapat menjadi teladan dalam kebaikan.
Kegiatan Belajar 2: Peranan Agama dalam mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Rangkuman

Secara naluriah manusia tidak dapat hidup secara individual. Sifat sosial pada hakikatnya adalah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT agar manusia dapat menjalani hidupnya dengan baik. Dalam faktanya manusia memiliki banyak perbedaan antara satu individu dengan individu lainnya, di samping tentunya sejumlah persamaan. Perbedaan tersebut kalau tidak dikelola dengan baik tentu akan menimbulkan konflik dan perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat. Dari kenyataan tersebut perlu dicari sebuah cara untuk dapat mewujudkan persatuan dan kesatuan. Pendekatan terbaik untuk melakukan tersebut adalah melalui agama. Secara normatif agama Islam lebih khusus Al-quran banyak memberi tuntunan dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Beberapa prinsip yang diajarkan Al-quran untuk tujuan tersebut antara lain:
  1. Prinsip persatuan dan persaudaraan.
  2. Prinsip persamaan.
  3. Prinsip kebebasan.
  4. Prinsip tolong-menolong.
  5. Prinsip perdamaian.
  6. Prinsip musyawarah.
Daftar Pustaka
  • Al-quran al-Karim.
  • 'Abd al-Baqi, Muhammad Fu'ad. (t.th.). Mujam li Alfazh Al-qurann al-Karim. (t.t): Dar al-Sya'b.
  • Ashfahani, Abu al-Qasim Abu al-Husain bin Muhammad al Raghib, al-. (1961/1381). Al-Mufradat Gharib Al-quran. Mishr: Mushthafa al-Bab al-Halabi.
  • Bint Syathi', 'Aisyah `Abd al-Rahman. (1978). Al-quran wa gadhaya al-Insan. Beirut: Daral'Ilm Ii al-Malayin.
  • Bukhari, Abu 'Abdullah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al-Mugh?rat bin Bardizbat al-. (t.th). Shahih al-Bukhari. (t.t): Dar wa Mathabi' al-Sya'b.
  • Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-. (t.th). Ihyd' `Ulum al-Din. Al-Qahirat: Maktabah al-Masyad al-Husaini.
  • Hamka. (1980). Tafsir Al-Azhar. Surabaya: Yayasan Latimojong.
  • Ibn Hanbal, Ahmad. (t.th.) Musnad al-Imam bin Hanbal. Bairut: A1-Maktab al-Islami.
  • Ibn Kasir, Abu al-Fida' Isma'il. (t.th). Tafsir Al-quran al-'Azhim. Singapura: AI-Haramain.
  • Ibn Majah, Abu `Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini. (t.th). Sunan Ibn Majah. Bairut: Dar al-Fikr.
  • Jazuli, Ahzami Sami'un. (1418 H). Al-Hayat fi-Al-quran. Riyadh: Dar Thawiq Ii al-Nasyr wa al-Tauzi',
  • Mahalli, Jalal-al-Din Muhammad bin Ahmad al-, dan Jalal al-Din 'Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi. (t.th). Tafsir Al-quran al-'Azhim. Jakarta: Jaya Mumi.
  • Maraghi, Ahmad Musthafa al-. (1974/1394). Tafsir al-Maraghi. (t.t.): Dar al-Fikr.
  • Munawwir, Ahmad Warson. (1984). Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir.
  • Muslim, Imam. (t.th). Shahih Muslim. Al-Qahirat: Al-Masyad al-Husaini.
  • Nasution, Harun. (1978). Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
  • ___. (1978). Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.
  • ___. dan Azyumardi Azra. (ed.). (1985). Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  • Nawawi, Al-Imam al-. (t.th.). Shahih Muslim bin al-Syarh al-Nawawi. Mishr: Al-Mathba'at al-Mishriyat.
  • Pulungan J Suyuthi. (1994). Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah ditinjau dari Pandangan Al-quran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Quthb, Sayyid. (1386/1967). Fi Zhilal Al-quran. Bairut: Dar al-Ihya' al-Turas al-'Arabi.
  • Raharjo, M. Dawam. (1999). Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES.
  • Ridha, Muhammad Rasyid. (1379/1960). Tafsir Al-quran al-Hakim (Tafsir al-Manar). Mishr: Makatabat al-Qahirat.
  • Salim, Abd. Muin. (1994) Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-quran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Shihab, H.M. Quraish. (1995). Membumikan Al-quran. Bandung: Mizan.
  • ___. (1996). Wawasan Al-quran. Bandung: Mizan.
  • ___. (1998). Tafsir Al-quran al-Karim. Bandung: Pustaka Hidayat.
  • ___. (2005). Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.
  • Sijistani, Abu Dawud Sulaiinan bin al-Asy'as al-Azadi al-. (t.th.). Sunan Abi Dawud. Bairut: Dar-al-Fikr.
  • Suyuthi, 'Abd al-Rahman bin Jalal al-Din al-. (1403/1983). Al-Durr al-Mansur Ji Tafsir al-Ma'sur. Bairut: Dar al-Filer.
  • ___. (t.th.). Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul. Al-Riyadh: Maktabat al-Riyadh.
  • ___. (1348/1930). Sunan al-Nasai. Bairut: Dar al-Fikr.
  • Wahidi, Abu al-Hasan bin Ahmad al-. (1386/1968). Asbab al-Nuzul. Mishr: Mushthafa al-Bab al-Halabi.


MODUL 9
KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
Kegiatan Belajar 1: Agama adalah Rahmat dari Allah SWT bagi Seluruh Hamba-Nya
Rangkuman

Allah SWT telah menganugrahkan kepada setiap manusia fitrah bertuhan. Kualitas fitrah tersebut di antara manusia tidak ada perbedaan. Yang membedakan nantinya adalah aktualisasinya dalam sikap hidup. Dari sini kita dapat memahami manusia apapun kepercayaannya pasti mempunyai pandangan yang sama tentang satu nilai yang universal misalnya tentang kasih sayang, kejujuran dan lain-lain. Itulah salah satu bukti bahwa manusia memiliki hati nurani sebagai fitrah anugerah Tuhan
Sungguh sesuatu yang logis kalau Allah kemudian memberi petunjuk kepada manusia berupa agama yang diturunkan melalui para rasul dengan perantaraan wahyu. Karena fitrah beragama tersebut masih berupa potensi maka wajar kalau ajaran agama yang diturunkan Allah tersebut berisi petunjuk bagaimana cara mengaktualkan fitrah tersebut ke dalam perbuatan nyata. Agama tersebut pastilah yang juga bersumber dari Allah SWT. Manusia tidak diberi wewenang untuk menetapkan agama apa yang baik untuk berhubungan dengan Allah SWT yang berhak menetapkan adalah Allah SWT sebagai pemberi fitrah.
Namun demikian manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya. Setelah petunjuk agama disampaikan para rasul apakah manusia akan mengikuti atau menolaknya sepenuhnya manusia diberi pilihan. Pilihan yang diambil itulah yang akan dijadikan pertimbangan Allah SWT untuk memberi balasan di akhirat. Kalau pilihannya sesuai dengan petunjuk Allah maka hidupnya akan bahagia dunia akhirat, namun apabila sebaliknya hasilnya adalah kehinaan hidup di dunia dan akhirat.
Kegiatan Belajar 2: Kerukunan Antar Umat Beragama
Rangkuman

Bentuk persaudaraan yang dianjurkan oleh Al-quran tidak hanya persaudaraan satu aqidah namun juga dengan warga masyarakat lain yang berbeda aqidah. Terhadap saudara kita yang sesama aqidah, Al-quran bahkan jelas menggaris bawahi akan urgensinya. Beberapa petunjuk menyangkut persaudaraan dengan sesama muslim dijelaskan secara rinci.
Di antara perincian tentang petunjuk tersebut adalah bahwa penegasan bahwa sesama orang yang beriman mereka bersaudara. Di antara mereka tidak boleh saling mengolok, karena boleh jadi yang diolok-olok sebenarnya lebih baik. Di antara mereka juga tidak boleh saling menggunjing, karena perbuatan tersebut merupakan dosa. Dan antar sesama muslim harus saling menolong untuk melaksanakan kebaikan dan ketakwaan, juga saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.
Terhadap warga masyarakat yang non-muslim, persaudaraan harus juga dibina. Persaudaraan dan kerja sama tersebut tentu saja bukan dalam hal aqidah, karena kalau dalam bidang aqidah sudah jelas berbeda maka tidak mungkin ada titik temu. Toleransi tersebut sebatas menyangkut hubungan antar sesama dan hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan. Maka dalam menjalin toleransi tersebut ada etika yang harus dipatuhi yaitu tidak boleh menghina keyakinan agama lain serta tidak boleh mencampur adukkan aqidah masing-masing.
Daftar Pustaka

  • Al-quran Al-Karîm.
  • ‘Abd al-Bâqî, Muhammad Fu’âd. (t.th). Mu’jam li Alfâzh Al-quran al-Karim.(t.t): Dâr al-Sya’b.
  • Ashfahani, Abû al-Qasim Abu al-Husain bin Muhammad al Raghib, al. (1961/1381). Al-Mufradât fî Gharib Al-qurân. Mishr: Mushthafâ al-Bab al-Halabi.
  • Bint Syâthi’, ‘Aisyah ‘Abd al-Rahman. (1978). Al-quran wa qadhaya al-Insan . Beirut: Dâr al’Ilm li al-Malayin.
  • Bukhâri, Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’il bin Ibrâhim bin al-Mughîrat bin Bardizbat al-. (t.th). Shahih al-Bukhâri. (t.t): Dâr wa Mathabi’ al-Sya’b.
  • Ghazali, Abû Hamid Muhammad bin Muhammad al-. (t.th). Ihyâ’ ‘Ulum al-Din. Al-Qahirat: Maktabah al-Masyad al-Husaini.
  • Hamka. (1980). Tafsir Al-Azhar. Surabaya: Yayasan Latimojong.
  • Ibn Hanbal, Ahmad. (t.th.). Musnad al-Imam bin Hanbal. Beirut: Al-Maktab al-Islami.
  • Ibn Kasîr, Abu al-Fida’ Ismâ’îl. (t.th.). Tafsîr Al-quran Al-’Azhim. Singapura: Al-Haramain.
  • Ibn Majah, Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Yazid al-Qazwaini. (t.th.). Sunan Ibn Majah. Bairut: Dâr al-Fikr.
  • Jazuli, Ahzami Sami’un. (1418 H). Al-Hayat fi-Al-quran. Riyadh: Dâr Thawîq li al-Nasyr wa al-Tauzî.
  • Mahalli, Jalal-al-Din Muhammad bin Ahmad al-, dan Jalâl al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abî Bakr al-Suyuthi. (t.th.). Tafsîr Al-Quran Al-’Azhîm. Jakarta: Jaya Murni.
  • Marâghi, Ahmad Musthafâ al-. (1974/1394). Tafsir al-Marâghi. (t.t.): Dâr al-Fikr.
  • Munawwir, Ahmad Warson. (1984). Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir.
  • Muslim, Imam. (t.th). Shahih Muslim. Al-Qahirat: Al-Masyad al-Husaini.
  • Nasution, Harun. (1978). Filsafat dan Misticisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
  • ___. (1978). Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.
  • ___. dan Azyumardi Azra. (ed.). (1985). Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  • Nawawi, Al-Imam al-. (t.th.). Shahîh Muslim bi al-Syarh al-Nawawi. Mishr: Al-Mathba’at al-Mishriyat.
  • Quthb, Sayyid. (1386/1967). Fî Zhilal Al-qurân. Beirut: Dâr al-Ihya’ al-Turas al-’Arabi.
  • Raharjo, M. Dawam. (1999). Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES.
  • Ridha, Muhammad Rasyid. (1379/1960). Tafsîr Al-qurân al-Hakim (Tafsir al-Manar). Mishr: Makatabat al-Qahirat.
  • Salim, Abd. Muin. (1994). Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-quran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Shihab, H.M. Quraish. (1995). Membumikan Al-quran. Bandung: Mizan.
  • ___. (1996). Wawasan Al-qurân. Bandung: Mizan.
  • ___. (1998). Tafsîr Al-qurân al-Karim. Bandung: Pustaka Hidayat.
  • ___. (2005). Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.
  • Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as al-Azadi al-. (t.th.). Sunan Abi Dawud. Bairut: Dar-al-Fikr.
  • Suyuthi, ‘Abd al-Rahmân bin Jalal al-Dîn al-. (1403/1983). Al-Durr al-Mansûr fî Tafsîr al-Ma’sur. Bairut: Dâr al-Fikr.
  • ___. (t.th.). Lubâb al-Nuqûl fî Asbâb al-Nuzûl. Al-Riyadh: Maktabat al-Riyadh.
  • ___. (1348/1930). Sunan al-Nasâi. Bairut: Dâr al-Fikr.
  • Al-Tirmizi, Abû ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surat. (1400/1980). Al-Jami’ al-Shahih. Beirut: Dâr al-Fikr.
  • Al-Wâhidi, Abû al-Hasan bin Ahmad. (1386/1968). Asbab al-Nuzul. Mishr: Mushthafâ al-Bab al-Halabi.
  • Yasin, Muhammad. (1996). Fitra: The Islamic Concept of Human Nature. London: Ta-ha Published.
  • Zahabi, Muhammad Husain al-. (1381/1961). Al-Tafsir wa al-Mufassirûn. Al-Qâhirat: Dâr al-Kutub al-Haditsat

0 komentar:

Next Prev
▲Top▲